Info Kuipper School.
Permasalahan pendidikan di Indonesia tak henti-hentinya dibicarakan dan dikritisi oleh berbagai elemen masyarakat, seyogyanya apa yang disampaikan dalam mengkritisi pendidikan di negara kita, dijadikan sebagi bekal untuk perbaikan, tidak saja dilakukan oleh pemerintah, melainkan seluruh lapisan masyarakat agar pendidikan kita menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Permasalahan pendidikan di Indonesia tak henti-hentinya dibicarakan dan dikritisi oleh berbagai elemen masyarakat, seyogyanya apa yang disampaikan dalam mengkritisi pendidikan di negara kita, dijadikan sebagi bekal untuk perbaikan, tidak saja dilakukan oleh pemerintah, melainkan seluruh lapisan masyarakat agar pendidikan kita menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Seorang praktisi dan pemerhati pendidikan mengungkapkan,“pendidikan di set untuk menghasilkan tenaga kerja”, “Setting (pengaturan) awal pendidikan yang dilakukan sejak seratus tahun lalu ya itu dan hingga saat ini kondisinya masih belum banyak berubah.
Pendidikan yang ada saat ini dikelola dalam rangka membentuk tenaga kerja. Ingin membuat tenaga pegawai sipil,” Demikian dikatakan Kepala Penelitian dan Pengembangan Persatuan Guru Republik Indonesia (Litbang PGRI), Dr Mohammad Abduhzen pada kesempatan sebuah acara diskusi yang diadakan IKAPI Jakarta beberapa waktu lalu.
Akibat sistem itu, katanya, Indonesia kalah bersaing dengan negara lain, seperti Malaysia dan Jepang. Ia membandingkan, pasca terpuruk pada tahun 1945, Jepang langsung bangkit. Salah satunya dengan membuat tim yang berkeliling dunia selama dua tahun, tugasnya mencari sistem pendidikan terbaik bagi negaranya.
Hasilnya, kata Abduhzen, tidak sampai 30 tahun kemudian, Jepang sudah setara dengan negara-negara Eropa. “Jadi, pendidikan ini sangat penting, sangat menentukan suatu bangsa,” ujarnya.Ia pun melontarkan sejumlah solusi untuk Indonesia. Misalnya dengan mencari sistem alternatif di luar pendidikan formal. Sebenarnya, menurut dia, sudah banyak gerakan sukarela masyarakat untuk mencerdaskan bangsa, tapi tidak didukung oleh pemerintah.
Abduhzen memaparkan, masalah lain dalam pendidikan di Indonesia adalah kondisi para guru. Ia mengungkap data hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2012, dimana nilai rata-rata guru Indonesia dalam kemampuan menyampaikan materi pelajaran hanya 42.25.
“Jadi di bawah 50. (Hasil UKG) sekarang 47,6, tidak naik. Kalau murid kan (sudah) tidak naik (kelas) itu,” ujarnya agak bergurau. Ia mengatakan, rendahnya kemampuan guru mengajar berdampak pada rendahnya kemampuan siswa menangkap pelajaran. Ia membeberkan hasil sebuah penelitian dan evaluasi pendidikan pada berbagai negara.
Di situ terungkap, ketika diberi soal yang bobotnya rendah atau mudah dijawab, seperti metode pilihan ganda, anak Indonesia pada posisi terbaik. Tapi, lanjutnya, ketika diberi soal yang memerlukan penalaran, seperti metode esai, anak Indonesia jeblok.
“Jadi memang persoalan anak-anak kita (dalam hal) penalaran. Jadi bukan kurikulum sebenarnya yang (mesti) dipersoalkan, tapi cara guru mengajar. Kurikulum (2013) ini tidak penting direvisi, tapi metodenya. Saya bilang ke Menteri (Pendidikan dan Kebudayaan).
Abduhzen lantas menceritakan tulisan inspiratif yang pernah dilihatnya di sebuah pesantren. Tulisan berbahasa Arab tersebut dia terjemahkan begini: “Metode itu lebih penting dari kurikulum.Tapi guru itu lebih penting dari metode.Tetapi spirit guru, karakter guru jauh lebih penting dari guru itu sendiri.”*
Akibat sistem itu, katanya, Indonesia kalah bersaing dengan negara lain, seperti Malaysia dan Jepang. Ia membandingkan, pasca terpuruk pada tahun 1945, Jepang langsung bangkit. Salah satunya dengan membuat tim yang berkeliling dunia selama dua tahun, tugasnya mencari sistem pendidikan terbaik bagi negaranya.
Hasilnya, kata Abduhzen, tidak sampai 30 tahun kemudian, Jepang sudah setara dengan negara-negara Eropa. “Jadi, pendidikan ini sangat penting, sangat menentukan suatu bangsa,” ujarnya.Ia pun melontarkan sejumlah solusi untuk Indonesia. Misalnya dengan mencari sistem alternatif di luar pendidikan formal. Sebenarnya, menurut dia, sudah banyak gerakan sukarela masyarakat untuk mencerdaskan bangsa, tapi tidak didukung oleh pemerintah.
Abduhzen memaparkan, masalah lain dalam pendidikan di Indonesia adalah kondisi para guru. Ia mengungkap data hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2012, dimana nilai rata-rata guru Indonesia dalam kemampuan menyampaikan materi pelajaran hanya 42.25.
“Jadi di bawah 50. (Hasil UKG) sekarang 47,6, tidak naik. Kalau murid kan (sudah) tidak naik (kelas) itu,” ujarnya agak bergurau. Ia mengatakan, rendahnya kemampuan guru mengajar berdampak pada rendahnya kemampuan siswa menangkap pelajaran. Ia membeberkan hasil sebuah penelitian dan evaluasi pendidikan pada berbagai negara.
Di situ terungkap, ketika diberi soal yang bobotnya rendah atau mudah dijawab, seperti metode pilihan ganda, anak Indonesia pada posisi terbaik. Tapi, lanjutnya, ketika diberi soal yang memerlukan penalaran, seperti metode esai, anak Indonesia jeblok.
“Jadi memang persoalan anak-anak kita (dalam hal) penalaran. Jadi bukan kurikulum sebenarnya yang (mesti) dipersoalkan, tapi cara guru mengajar. Kurikulum (2013) ini tidak penting direvisi, tapi metodenya. Saya bilang ke Menteri (Pendidikan dan Kebudayaan).
Abduhzen lantas menceritakan tulisan inspiratif yang pernah dilihatnya di sebuah pesantren. Tulisan berbahasa Arab tersebut dia terjemahkan begini: “Metode itu lebih penting dari kurikulum.Tapi guru itu lebih penting dari metode.Tetapi spirit guru, karakter guru jauh lebih penting dari guru itu sendiri.”*
Menyimak pernyataan Dr Abbduh Zen diatas, hendaknya kita jadikan sebagi telaah kritis atas kondisi pendidikan kita, untuk bersama-sama diperbaiki, walaupun sebetulnya kitapun jangan menutup mata, banyak prestasi yang dihasilkan dari sistim pendidikan yang dijalankan selama ini. Selamat berjuang..!