Info Kuipper School.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kurikulum merupakan perangkat yang dibuat dalam merumuskan sistim pada sebuah kegiatan pembelajaran, dengan adanya kurikulum pembelajaran mempunyai pedoman arah yang dituju, karena itu kurikulum perannya hanya sebuah alat yang digunakan oleh guru dalam memberikan materi pembelajaran kepada anak didiknya.
Wacana kurikulum yang diberlakukan dalam sistim pendidikan kita pada tingkat pendidikan dasar dan menengah telah bergulir sejak beberapa waktu yang lalu, dan jika ditarik ke belakang dari sejak kemerdekaan perubahan kurikulum telah terjadi beberapa kali, sehingga sempat dikenal pameo dunia pendidikan,”Setiap ganti menteri akan berganti pula kurikulum pendidikannya”.
Berdasarkan pengamatan sebuah lembaga yang mengukur tingkat keberhasilan pendidikan pada suatu negara, PISA (Programme for International Student Assessment), telah memberikan laporan bahwa; empat negara berpenduduk terbesar di dunia, yaitu; Tiongkok, India, AS, dan Indonesia, menerangkan bahwa negara India dan AS sama-sama tak memiliki kurikulum nasional.
Bahkan standar CCSS (Common Core State Standards) yang baru sedang dicoba untuk diterapkan belum disepakati untuk diterapkan di semua negara bagian. Standar CCSS ini pun sementara baru mencakup matapelajaran Matematika dan Bahasa Inggris saja. Para pendidik AS berpendapat bahwa standar CCSS ini dan khususnya ujiannya membuka peluang terjadinya penyeragaman pendidikan dan anak didik. Dan, ini bertentangan dengan kebebasan individu dan keberagaman yang dijuarakan sistem pendidikan AS.
Sementara itu, India benar-benar tak menetapkan standar nasional apalagi kurikulum nasional. Malahan di negeri ini, keanekaragaman kurikulum dan bahan ajar justru didorong dan disokong secara eksplisit dan resmi oleh pemerintah pusat melalui dokumen Curriculum Framework , yang dirancang oleh National Council of Educational Research and Training.
Sedangkan Tiongkok sampai sekarang masih terpusat menggunakan satu kurikulum nasional untuk seluruh sekolah dasar dan menengahnya. Namun demikian, yang disebut satu kurikulum nasional sesungguhnya telah berubah makna sekaligus “kadar”nya sejak tahun 1993 untuk jenjang SD dan SMP. Yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk jenjang SD hanya 9 matapelajaran wajib, yakni matematika, IPA, ilmu sosial, pendidikan politik, bahasa Mandarin, pendidikan jasmani, musik, seni rupa, dan keterampilan perburuhan.
Di negara Tiongkok, Sekolah juga harus membelajarkan bahasa asing tetapi siswa boleh memilih bahasanya. Sedang untuk jenjang SMP, ada 13 matapelajaran wajib yang ditetapkan pemerintah pusat. Kemudian, SMAnya menggunakan sistem kredit. Dengan sistem kredit ini, tidak saja tiap daerah dapat memiliki kurikulum sendiri, tetapi malah tiap siswa dapat merencanakan pendidikan SMAnya sendiri.
Dengan mencermati situasi sistem pendidikan tiga negara berpenduduk besar itu, sesungguhnya pesan yang disampaikan jelas sekali, Indonesia membutuhkan banyak kurikulum yang unik di tingkat daerah. Kebudayaan lokal yang beranekaragam tidak boleh diseragamkan. Apalagi, faktanya Indonesia memiliki karakteristik geografis kepulauan yang secara alamiah hakikatnya adalah keanekaragam. Daerah-daerah di tanah air pastilah memiliki keunikan tradisi, budaya, dan alam. Karenanya, proses belajar-mengajar dan khususnya kurikulum bagi anak-anak kita di berbagai pelosok tanah air perlu yang luwes agar pendidik/sekolah dapat mengadaptasi program belajar-mengajarnyanya terkait kebutuhan kecakapan anak khusus di daerah itu.
Wacana kurikulum yang diberlakukan dalam sistim pendidikan kita pada tingkat pendidikan dasar dan menengah telah bergulir sejak beberapa waktu yang lalu, dan jika ditarik ke belakang dari sejak kemerdekaan perubahan kurikulum telah terjadi beberapa kali, sehingga sempat dikenal pameo dunia pendidikan,”Setiap ganti menteri akan berganti pula kurikulum pendidikannya”.
Berdasarkan pengamatan sebuah lembaga yang mengukur tingkat keberhasilan pendidikan pada suatu negara, PISA (Programme for International Student Assessment), telah memberikan laporan bahwa; empat negara berpenduduk terbesar di dunia, yaitu; Tiongkok, India, AS, dan Indonesia, menerangkan bahwa negara India dan AS sama-sama tak memiliki kurikulum nasional.
Bahkan standar CCSS (Common Core State Standards) yang baru sedang dicoba untuk diterapkan belum disepakati untuk diterapkan di semua negara bagian. Standar CCSS ini pun sementara baru mencakup matapelajaran Matematika dan Bahasa Inggris saja. Para pendidik AS berpendapat bahwa standar CCSS ini dan khususnya ujiannya membuka peluang terjadinya penyeragaman pendidikan dan anak didik. Dan, ini bertentangan dengan kebebasan individu dan keberagaman yang dijuarakan sistem pendidikan AS.
Sementara itu, India benar-benar tak menetapkan standar nasional apalagi kurikulum nasional. Malahan di negeri ini, keanekaragaman kurikulum dan bahan ajar justru didorong dan disokong secara eksplisit dan resmi oleh pemerintah pusat melalui dokumen Curriculum Framework , yang dirancang oleh National Council of Educational Research and Training.
Sedangkan Tiongkok sampai sekarang masih terpusat menggunakan satu kurikulum nasional untuk seluruh sekolah dasar dan menengahnya. Namun demikian, yang disebut satu kurikulum nasional sesungguhnya telah berubah makna sekaligus “kadar”nya sejak tahun 1993 untuk jenjang SD dan SMP. Yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk jenjang SD hanya 9 matapelajaran wajib, yakni matematika, IPA, ilmu sosial, pendidikan politik, bahasa Mandarin, pendidikan jasmani, musik, seni rupa, dan keterampilan perburuhan.
Di negara Tiongkok, Sekolah juga harus membelajarkan bahasa asing tetapi siswa boleh memilih bahasanya. Sedang untuk jenjang SMP, ada 13 matapelajaran wajib yang ditetapkan pemerintah pusat. Kemudian, SMAnya menggunakan sistem kredit. Dengan sistem kredit ini, tidak saja tiap daerah dapat memiliki kurikulum sendiri, tetapi malah tiap siswa dapat merencanakan pendidikan SMAnya sendiri.
Dengan mencermati situasi sistem pendidikan tiga negara berpenduduk besar itu, sesungguhnya pesan yang disampaikan jelas sekali, Indonesia membutuhkan banyak kurikulum yang unik di tingkat daerah. Kebudayaan lokal yang beranekaragam tidak boleh diseragamkan. Apalagi, faktanya Indonesia memiliki karakteristik geografis kepulauan yang secara alamiah hakikatnya adalah keanekaragam. Daerah-daerah di tanah air pastilah memiliki keunikan tradisi, budaya, dan alam. Karenanya, proses belajar-mengajar dan khususnya kurikulum bagi anak-anak kita di berbagai pelosok tanah air perlu yang luwes agar pendidik/sekolah dapat mengadaptasi program belajar-mengajarnyanya terkait kebutuhan kecakapan anak khusus di daerah itu.