Info Kuipper School.
Fakta mencengangkan yang membuat prihatin kita semua, mencermati angka pengangguran saat ini yang dilansir oleh badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angkanya mencapai 7,4 juta orang yang sebagian besar didominasi usia produktif yang hanya menempuh pendidikan tingkat SD dan SMP.
Pada dasarnya, mendapat pendidikan layak adalah hak seluruh warga negara. Tapi nyatanya, banyak anak usia sekolah di Indonesia justru harus putus sekolah. Mereka tidak bisa melanjutkan pendidikannya, terutama di daerah Lampung.
Angka putus sekolah dan berpendidikan rendah di Indonesia yang terbilang relatif tinggi mendapat perhatian dari para akademisi. Seperti akademisi pendidikan dari Universitas Lampung (Unila), Rohmiati.
Dia melanjutkan, untuk mendapatkan akses pendidikan juga masih bermasalah. Hal ini, berkaitan dengan pemenuhan infrastruktur, termasuk daya tampung instansi pendidikan yang masih rendah. Program untuk membangkitkan motivasi anak sekolah itu bagus. Tapi, menyelesaikan masalah tingginya angka putus sekolah di Lampung masih belum efektif dan efisien," ucapnya.
Indikasi lainnya terjadi karena belum optimalnya penerapan wajib belajar (Wajar) 12 tahun yang diterapkan sejak Desember 2012. Menurutnya, program Wajar yang menjadi keharusan tersebut belum menjamin seluruh masyarakat bisa bersekolah dari segi biaya, padahal wajib belajar memang digratiskan.
"Tapi, masih ada sekolah yang melakukan pungutan biaya dan penerapan biaya-biaya lain yang juga dihitung. Seperti biaya pakaian, transportasi, dan ekstrakurikuler, seharusnya biaya itu gratis," ungkap dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila itu.
Beberapa bantuan yang digulirkan pemerintah, seharusnya berperan untuk mencegah tingginya angka putus sekolah. Cukup banyak bantuan pemerintah, tapi sayangnya belum mampu berkontribusi untuk menekan angka putus sekolah karena kurangnya sosialisasi.
Fakta mencengangkan yang membuat prihatin kita semua, mencermati angka pengangguran saat ini yang dilansir oleh badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angkanya mencapai 7,4 juta orang yang sebagian besar didominasi usia produktif yang hanya menempuh pendidikan tingkat SD dan SMP.
Pada dasarnya, mendapat pendidikan layak adalah hak seluruh warga negara. Tapi nyatanya, banyak anak usia sekolah di Indonesia justru harus putus sekolah. Mereka tidak bisa melanjutkan pendidikannya, terutama di daerah Lampung.
Angka putus sekolah dan berpendidikan rendah di Indonesia yang terbilang relatif tinggi mendapat perhatian dari para akademisi. Seperti akademisi pendidikan dari Universitas Lampung (Unila), Rohmiati.
Baca juga: Mulai 2015 Lulusan SD-SMP Akan Dipermudah Ikut Pelatihan Di Balai Latihan Kerja (BLK) Milik PemerintahRohmiati mengatakan bahwa ada beberapa indikasi yang membuat angka putus sekolah di tinggi. Di antaranya, budaya masyarakat yang tidak menganggap pendidikan adalah hal penting yang dapat dijadikan bekal penopang hidup yang absolut.
Dia melanjutkan, untuk mendapatkan akses pendidikan juga masih bermasalah. Hal ini, berkaitan dengan pemenuhan infrastruktur, termasuk daya tampung instansi pendidikan yang masih rendah. Program untuk membangkitkan motivasi anak sekolah itu bagus. Tapi, menyelesaikan masalah tingginya angka putus sekolah di Lampung masih belum efektif dan efisien," ucapnya.
Indikasi lainnya terjadi karena belum optimalnya penerapan wajib belajar (Wajar) 12 tahun yang diterapkan sejak Desember 2012. Menurutnya, program Wajar yang menjadi keharusan tersebut belum menjamin seluruh masyarakat bisa bersekolah dari segi biaya, padahal wajib belajar memang digratiskan.
"Tapi, masih ada sekolah yang melakukan pungutan biaya dan penerapan biaya-biaya lain yang juga dihitung. Seperti biaya pakaian, transportasi, dan ekstrakurikuler, seharusnya biaya itu gratis," ungkap dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila itu.
Beberapa bantuan yang digulirkan pemerintah, seharusnya berperan untuk mencegah tingginya angka putus sekolah. Cukup banyak bantuan pemerintah, tapi sayangnya belum mampu berkontribusi untuk menekan angka putus sekolah karena kurangnya sosialisasi.
Baca juga: Kriteria Sekolah Kecil Seperti Apa Yang Berhak Menerima Dana BOS dan Berapa Besaran Dana Yang diterima