Info Kuipper School.
Diskursus tentang pendidikan di Indonesia tak habis-habisnya untuk dibahas dan dikupas, karena begitu banyaknya persoalan yang terjadi dengan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah, yang masih belum selesai diwacanakan untuk menemukan muara penyelesaiannya adalah tentang kurikulum pembelajaran serta keberadaan guru pengajar dan kesejahteraannya.
Berbeda dengan berbagai negara di dunia, Indonesia meletakkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam deklarasi kemerdekaannya (Pembukaan UUD 1945) dan menetapkan “hak warga negara memperoleh pangajaran (pendidikan)” serta “kewajiban pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional” dalam UUD-nya (UUD 1945).
Sebagai seorang nasionalis tulen, Diarto mengupas banyak tentang perlunya pemahaman kembali terhadap landasan filosofis negara (baca: Pancasila) yang menjadi falsafah pendidikan kita. Bahkan, secara spesifik Diarto banyak mengutip pemikiran Bung Karno dengan tajuknya yang bertema Pancasila ala-Bung Karno yang perlu diperjuangkan melalui pendidikan nasional.
Kepedulian Diarto terhadap pendidikan telah terinternalisasi dalam dirinya sejak masih manjadi mahasiswa, dia, dengan gayanya yang khas, telah memaparkan visi pendidikan yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” di hadapan Bung Karno. Paparannya tentang pentingnya lembaga pendidikan guru yang harus bertaraf universitas langsung dijawab oleh Bung Karno satu tahun kemudian dengan didirikannya “Institut Pendidikan dan Keguruan (IKIP)” sebagai institusi pendidikan tinggi kependidikan yang belakangan telah berubah menjadi universitas-universitas negeri sebagaimana dicita-citakan Diarto.
Diskursus tentang pendidikan di Indonesia tak habis-habisnya untuk dibahas dan dikupas, karena begitu banyaknya persoalan yang terjadi dengan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah, yang masih belum selesai diwacanakan untuk menemukan muara penyelesaiannya adalah tentang kurikulum pembelajaran serta keberadaan guru pengajar dan kesejahteraannya.
Secara mendasar Indonesia mempunyai modal yang cukup pundamental dalam membangun pendidikan, karena secara tegas Indonesia mencantumkan bahwa tujuan didirikannya negara ini disepakati oleh para pendiri bangsa adalah untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa tercantum dengan jelas dalam konstitusi negara.
Berbeda dengan berbagai negara di dunia, Indonesia meletakkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam deklarasi kemerdekaannya (Pembukaan UUD 1945) dan menetapkan “hak warga negara memperoleh pangajaran (pendidikan)” serta “kewajiban pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional” dalam UUD-nya (UUD 1945).
Namun semenjak krisis multidimensional tahun 1998, hingga kini negeri ini belum juga mampu untuk bangkit dari keterpurukan. Kenyataan fenomenal ini merupakan indikasi bahwa penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa ini di atas, masih jauh dari berhasil.
Gelombang reformasi merupakan paket jalan keluar yang diajukan masyarakat untuk mengembalikan dan memulihkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlepas dari variabel sosial-politik yang begitu rumit, krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini dapat pula dilihat sebagai lemahnya sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia, yang tentunya amat terkait dengan praktik pendidikan yang selama ini berlangsung. Artinya, krisis multidimensional tersebut dapat disebut berakar dari gagalnya proyek pendidikan.
Gelombang reformasi merupakan paket jalan keluar yang diajukan masyarakat untuk mengembalikan dan memulihkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlepas dari variabel sosial-politik yang begitu rumit, krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini dapat pula dilihat sebagai lemahnya sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia, yang tentunya amat terkait dengan praktik pendidikan yang selama ini berlangsung. Artinya, krisis multidimensional tersebut dapat disebut berakar dari gagalnya proyek pendidikan.
Karena itu, beberapa kalangan lalu menjadi peduli untuk merekonstruksi kembali—atau bahkan mendekonstruksi—berbagai paradigma pendidikan yang diberlakukan selama ini. Merancang masa depan pendidikan yang lebih memungkinkan bagi terciptanya demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat kemudian menjadi suatu keniscayaan. Apalagi bila dikaitkan dengan konteks internasional atau variabel global. Tantangan sebagai bangsa untuk bersaing di kehidupan global semakin menantang dunia pendidikan guna mempersiapkan kader-kader bangsa yang mumpuni.
Lantas, di manakah letak kesalahan sistem pendidikan kita? Seorang pejuang pendidikan yang telah lama aktip memperjuangkan perbaikan pendidikan di negeri ini, Prof. Dr Soedijarto. MA menengarai bahwa kekacauan sistem pendidikan kita dikarenakan lemahnya falsafah yang mendasari praksis pendidikan di lapangan. Lebih jauh Diarto juga menyoroti lemahnya kurikulum, sistem evaluasi, peran perguruan tinggi hingga permasalahan klasik pendidikan yang terkait dengan minimnya dukungan dana dari pemerintah.
Lantas, di manakah letak kesalahan sistem pendidikan kita? Seorang pejuang pendidikan yang telah lama aktip memperjuangkan perbaikan pendidikan di negeri ini, Prof. Dr Soedijarto. MA menengarai bahwa kekacauan sistem pendidikan kita dikarenakan lemahnya falsafah yang mendasari praksis pendidikan di lapangan. Lebih jauh Diarto juga menyoroti lemahnya kurikulum, sistem evaluasi, peran perguruan tinggi hingga permasalahan klasik pendidikan yang terkait dengan minimnya dukungan dana dari pemerintah.
Kepedulian Diarto terhadap pendidikan telah terinternalisasi dalam dirinya sejak masih manjadi mahasiswa, dia, dengan gayanya yang khas, telah memaparkan visi pendidikan yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” di hadapan Bung Karno. Paparannya tentang pentingnya lembaga pendidikan guru yang harus bertaraf universitas langsung dijawab oleh Bung Karno satu tahun kemudian dengan didirikannya “Institut Pendidikan dan Keguruan (IKIP)” sebagai institusi pendidikan tinggi kependidikan yang belakangan telah berubah menjadi universitas-universitas negeri sebagaimana dicita-citakan Diarto.
Hampir setengah abad kemudian, masih dengan gaya lamanya, ia memperjuangkan penyediaan anggaran pendidikan harus terjamin dan dilindungi oleh UUD. Dengan gigih, ia bersama anggota MPR yang sepaham memperjuangkan pencantuman pasal yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen.
Perjuangan ini unik dan sangat berani, karena tak lazim dalam sebuah UUD suatu negara mencantumkan suatu angka, lebih-lebih untuk satu bidang tertentu. Namun, di mata Diarto, tidak demikan. Layaknya peramal ulung, ia tahu bahwa pendidikan di negeri ini tidak akan mendapatkan porsi pembiayaan yang layak tanpa perlindungan UUD 1945. Nyatanya, hingga tahun 2003, persentase anggaran pendidikan terhadap PBD di negeri ini baru mencapai 1,4 persen. Angka ini hanya separuh dari Vietnam yang telah menganggarkan 2,8 persen. Dan jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang masing-masing telah mencapai 5,0 dan 5,2 persen .
Perjuangan ini unik dan sangat berani, karena tak lazim dalam sebuah UUD suatu negara mencantumkan suatu angka, lebih-lebih untuk satu bidang tertentu. Namun, di mata Diarto, tidak demikan. Layaknya peramal ulung, ia tahu bahwa pendidikan di negeri ini tidak akan mendapatkan porsi pembiayaan yang layak tanpa perlindungan UUD 1945. Nyatanya, hingga tahun 2003, persentase anggaran pendidikan terhadap PBD di negeri ini baru mencapai 1,4 persen. Angka ini hanya separuh dari Vietnam yang telah menganggarkan 2,8 persen. Dan jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang masing-masing telah mencapai 5,0 dan 5,2 persen .